22 November, 2011

Terapi Pengobatan dengan musik pada peradaban Islam

Seni musik yang berkembang begitu pesat di era keemasan islam, tak hanya sekedar mengandung unsur hiburan. Para musisi legendaris seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873 M) dan  al-Farabi (872-950) telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi.


Lalu sebenarnya apa yang disebut dengan terapi musik? Terapi musik merupakan sebuah prroses interpersonal yang dilakukan seorang terapis dengan menggunakan musik untuk membantu memulihkan kesehatan pasiennya. Sejak kapan peradaban Islam mengambangkan terapi musik? Dan benarkah musik bisa menjadi alat terapi untuk menyembuhkan penyakit?
R Saoud dalam tulisannya berrtajuk The Arab Contribution to the music of the Western World menyebut al-Kindi sebagai psikolog Muslim pertama yang mempraktikan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9, al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik.


arabian music8
”Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba untuk menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total,” papar Saoud. Terapi musik juga dikembangkan ilmuwan Muslim lainnya yakni al-Farabi (872-950 M)Alpharabius – begitu peradaban Barat biasa menyebutnya – menjelaskan tentang terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect.
Amber Haque (2004) dalam tulisannya bertajuk Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists”, Journal of Religion and Healthmengungkapkan, dalam manuskripnya itu, al-Farabi  telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa.
Terapi musik berkembang  semakin pesat  di dunia Islam  pada era Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa.  Prof Nil Sari, sejarawan kedokteran Islam dari  Fakultas Kedokteran  University Cerrahpasa Istanbul mengungkap perkembangan terapi musik di masa kejayaan Turki Usmani.
Menurut Prof Nil Sari, gagasan dan pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim seperti al-Razi, al-Farabi danIbnu Sina tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani. ”Mereka antara lain; Gevrekzade (wafat 1801), Suuri (wafat 1693), Ali Ufki (1610-1675), Kantemiroglu (1673-1723) serta Hasim Bey (abad ke-19 M).
”Para ilmuwan Muslim di era kejayaan Ottoman itu telah melakukan studi mengenai musik sebagai alat untuk pengobatan,” papar Prof Nil Sari.  Menurut dia, para ilmuwan dari Turki Usmani itu sangat tertarik untuk mengembangkan efek musik pada pikiran dan badan manusia.
Tak heran, jika  Abbas Vesim (wafat 1759/60) dan Gevrekzade telah mengusulkan agar musik dimasukan dalam pendidikan kedokteran. Keduanya berpendapat, seorang dokter yang baik harus melalui latihan musik.  Usulan Vesim dan Gevrekzade itu diterapkan di universitas-universitas hingga akhir abad pertengahan. Sekolah kedokteran pada saat itu mengajarkan musik serta aritmatika, geometri serta astronomi kepada para mahasiswanya.



Teori Terapi Musik


Menurut Prof Nil Sari, masyarakat Turki pra-Islam meyakini bahwa kosmos diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kata ”ku” / ”kok” (suara). Mereka meyakini bahwa awal terbentuknya kosmos berasal dari suara. Menurut kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi.

”…Dan bila Dia berkehendak  (untuk menciptakan) sesuatu, maka  (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’. Lalu jadilah ia.”  (QS: al-baqarah:117).
Setelah Islam bersemi di Turki, masyarakat negeri itu, masih tetap meyakini kekuatan suara. Inilah yang membuat peradaban Islam di era Turki Usmani menyakini bahwa musik dapat menjadi sebuah alat terapi yang dapat menyeimbangkan antara badan, pikiran dan emosi – sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri seseorang.
Prof Nil Sari mengungkapkan, para ahli terapi musik di zaman Ottoman menyakini bahwa pasien yang menderita penyakit tertentu atau emosi seseorang dengan temperamen tertentu  dipengaruhi oleh ragam musik tertentu. ”Para ahli musik di era Turki Usmani menyatakan, makam (tipe melodi) tertentu memiliki kegunaan pengibatan tertentu juga,” papar Prof Nil Sari.
Ada sekitar 80 ragam tipe melodi yang berkembang di masyarakat Turki Usmani. Sebanyak 12 diantaranya bisa digunakan sebagai alat terapi.  Menurut Prof Nil Sari,  dari teks-teks tua dapat disimpulkan bawa jenis musik tertentu dapat mengobati penyakit tetentu atau perasaan tertentu.
Pada era kejayaan Kesultanan Turki Usmani, terapi musik biasanya digunakan untuk beberapa tujuan, seperti; pengobatan kesehatan mental; perawatan penyakit organik, perbaikan harmoni seseorang  yakni menyeimbangkan kesehatan antara badan, pikiran dan emosi. Musik juga diyakini mampu menyebabkan seseorang tertidur, sedih, bahagia dan bisa pula memacu intelijensia.
Prof Nil Sari mengungkapkan, para ilmuwan di era Turki Usmani meyakini bahwa musik memiliki kekuatan dalam  proses alam,. Musik dapat berfungsi meningkatkan mood dan emosi secara keseluruhan. Uniknya, para ilmuwan di era Ottoman sudah mampu menetapkan jenis musik tertentu untuk penyekit tertentu. Misalnya, jenis musik huseyni dapat mengobati demam. Sedangkan, jenis musik  zengule dan irak untuk mengobati meningitis.
Masyarakat Barat baru mengenal terapi musik pada abad ke-17 M. Adalah Robert Burton lewat karya klasiknya berjudul The Anatomy of Melancholy yang mengembangkan terapi musik di Barat. Menurut Burton, musik dan menari dapat menyembuhkan sakit jiwa, khususnya melankolia.
Malah, masyarakat Amerika Serikat (AS) baru mengenal terapi musik sekitar 1944. Pada saat itu, Michigan State University membuka program sarjana teapi musik. Sejak 1998, di Amerika telah berdiri The American Music Therapy Association (AMTA). Organisasi ini merupakan gabungan dari  National Association for Music Therapy (NAMT,  berdiri tahun 1950)  dan the American Association for Music Therapy (AAMT, berdiri 1971).
Terapi musik merupakan salah satu kontribusi peradaban Islam dalam dunia kesehatan dan kedokteran. Di era modern ini, musik tetap menjadi salah satu alat untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Terapi musik menjadi salah satu bukti pencapaian para ilmuwan Muslim di era keemasan.

Musisi Muslim Pencetus Terapi Musik


Al-Kindi

alkindi

Al-Kindi atau al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad. Saat itu, panji-panji kejayaan Islam dikerek olehDinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya, yaknial-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim, al-Wasiq (842-847), dan Mutawakil (847-861).
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani.
Ketika Khalifah al-Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya, al-Mu’tasim, posisi al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.
Menurut al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.

Al-Farabi

Alfarabi



Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamsonpengajar filsafat di King’s College London, Inggris, menjuluki al-Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.


Sosok dan pemikiran al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
”Ilmu Logika al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux. Tak heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rush.
Al-Farabi atau  masyarakat Barat mengenalnya dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya.
Tak ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina.Tak heran, bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia.

19 November, 2011

Pharmaceutical Care


Pharmaceutical Care

Dalam evolusi perkembangan pelayanan farmasi telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan farmasi dari orientasi terhadap produk menjadi orientasi terhadap kepentingan pasien yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta menguatnya tuntutan terhadap jaminan keselamatan pasien. Orientasi terhadap kepentingan pasien tanpa mengesampingkan produk dikenal dengan konsep Pharmaceutical Care. Dengan banyak ditemukannya masalah yang berkaitan dengan obat dan penggunaannya; semakin meningkatnya keadaan sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat; serta adanya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan kefarmasian yang bermutu terutama di rumah sakit maupun di komunitas, Pharmaceutical Care merupakan hal yang mutlak harus diterapkan.

Secara prinsip, Pharmaceutical Care atau pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:

1.    Penyusunan informasi dasar atau database pasien.
2.    Evaluasi atau Pengkajian (Assessment).
3.    Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK).
4.    Implementasi RPK.Monitoring Implementasi.
5.    Tindak Lanjut (Follow Up).

Keseluruhan tahap pelayanan kefarmasian ini dilakukan dalam suatu proses penyuluhan dan konseling kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya.

Konseling

Konseling kefarmasian yang merupakan usaha dari apoteker di dalam membantu masyarakat menyelesaikan masalah kesehatan yang umumnya terkait dengan sediaan farmasi agar masyarakat mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi masyarakat itu sendiri. Konseling kefarmasian bukan sekedar PIO atau konsultasi tapi lebih jauh dari itu. Dan untuk mendapatkan konseling yang efektif, para apoteker praktisi harus selalu melatih menggunakan teknik-teknik koseling yang dibutuhkan pada praktek komunitas.

Tujuan pemberian konseling kepada pasien adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan pasien dalam menjalani pengobatannya serta untuk memantau perkembangan terapi yang dijalani pasien. Ada tiga pertanyaan utama (Three Prime Questions) yang dapat digunakan oleh apoteker dalam membuka sesi konseling untuk pertama kalinya. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
2.      Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
3.      Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini? 
Pengajuan ketiga pertanyaan di atas dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi pemberian informasi yang tumpang tindih (menghemat waktu); mencegah pemberian informasi yang bertentangan dengan informasi yang telah disampaikan oleh dokter (misalnya menyebutkan indikasi lain dari obat yang diberikan) sehingga pasien tidak akan meragukan kompetensi dokter atau apoteker; dan juga untuk menggali informasi seluas-luasnya (dengan tipe open ended question).

Tiga pertanyaan utama tersebut dapat dikembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut sesuai dengan situasi dan kondisi pasien:

1.   Apa yang dikatakan dokter tentang kegunaan pengobatan anda?
·      Persoalan apa yang harus dibantu?
·      Apa yang harus dilakukan?
·      Persoalan apa yang menyebabkan anda ke dokter?

     2. Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?
·      Berapa kali menurut dokter anda harus menggunakan obat tersebut?
·      Berapa banyak anda harus menggunakannya?
·      Berapa lama anda terus menggunakannya?
·      Apa yang dikatakan dokter bila anda kelewatan satu dosis?
·      Bagaimana anda harus menyimpan obatnya?
·      Apa artinya ‘tiga kali sehari’ bagi anda?

3.  Apa yang dikatakan dokter tentang harapan setelah pengobatan anda?
·      Pengaruh apa yang anda harapkan tampak?
·      Bagaimana anda tahu bahwa obatnya bekerja?
·      Pengaruh  buruk     apa  yang  dikatakan  dokter  kepada  anda  untuk diwaspadai?
·      Perhatian apa yang harus anda berikan selama dalam pengobatan ini?
·      Apa yang dikatakan dokter apabila anda merasa makin parah/buruk?
·      Bagaimana anda bisa tahu bila obatnya tidak bekerja?

Pada akhir konseling perlu dilakukan verifikasi akhir (tunjukkan dan katakan) untuk lebih memastikan bahwa hal-hal yang dikonselingkan dipahami oleh pasien terutama dalam hal penggunaan obatnya dapat dilakukan dengan menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

‘sekedar untuk meyakinkan saya supaya tidak ada yang kelupaan, silakan diulangi bagaimana anda menggunakan obat anda’.

Dalam proses konseling harus melibatkan evidence based practice. Pada evidence based medicine, pengobatan didasarkan pada bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan sedangkan evidence based practice bukti tidak dapat hanya dikaitkan dengan bukti-bukti ilmiah tetapi juga harus dikaitkan dengan bukti/data yang ada pada saat praktek profesi dilakukan. Dengan demikian, perbedaan waktu, situasi, kondisi, tempat dll mungkin akan mempengaruhi tindakan profesi, keputusan profesi dan hasil. Agar tetap menghasilkan praktek profesi yang optimal, setiap apoteker atau calon apoteker harus terlatih dalam penguasaan dan penerapan skill dan knowledge dalam praktek profesi sesuai kebutuhan.

Setiap apoteker bisa jadi memiliki kebutuhan yang berbeda dalam skill danknowledge, hal ini tergantung dari banyak hal termasuk model, manajemen, orientasi, tempat dll. Tetapi semua mempunyai kesamaan dalam standar profesi. Salah satu standar yang digunakan untuk mendapatkan kualitas layanan yangajeg adalah Standar Prosedur Operasional (SPO). Yang mana standar ini harus disusun sesuai praktek profesi yang telah dilakukan, bukan hanya sekedar teori belaka yang belum diuji coba, yang ujung-ujungnya membuat susah dalam penerapannya. Selanjutnya SPO ini harus diuji cobakan secara luas dan propesional sebelum dijadikan standar secara nasional.

Salah satu ciri khas konseling adalah lebih dari satu kali pertemuan. Pertemuan-pertemuan selanjutnya dalam konseling dapat dimanfaatkan apoteker dalam memonitoring kondisi pasien. Pemantauan terhadap kondisi pasien dapat dilakukan Apoteker pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat pasienmenebus obat, atau dengan melakukan komunikasi melalui telepon atau internet.Pemantauan kondisi pasien sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi obat yang digunakan. Apoteker harus mendorong pasien untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin.


09 November, 2011

Kampung Korea ada disini, hanya di Bau-Bau

Demam Korea memang sedang melanda Indonesia. Dari sinetron, lagu, artis, sampai-sampai atlet dari Korea sangat banyak penggemarnya. Namun tahukah anda bahwa ada satu tempat di Bau-Bau yang dinamakan sebagai kampung Korea? 
Hangul dipakai Suku Cia-Cia di Bau-Bau, Buton, Sultra : adalah Karya Baru dan sekitarnya yang ditempati orang-orang etnis Cia-Cia, daerah yang dapat ditempuh sekitar 15 km dari Bau-Bau yang akhir-akhir ini terkenal sebagai kampung Korea. Lihatlah nama jalannya yang memakai huruf Hangeul (aksara Korea), ataupun nama sekolah yang juga dicantumkan bahasa Koreanya. Lalu, bagaimana asal mulanya etnis Cia-cia mengadopsi huruf Korea?


Plang jalan di Kecamatan Sorawolio, Bau-Bau, Pulau Buton Sulawesi Tenggara yang mengadaptasi huruf Korea (Sumber : www.sosbud.kompasiana.com)




Menurut Lurah Karya Baru, memang ada kebudayaan-kebudayaan dan bahasa Cia-cia yang mirip, bahkan sama dengan apa yang dimiliki oleh Korea. Karena kayanya bahasa di Bau-Bau yang mencapai lebih dari 90 bahasa, seorang Professor Korea tertarik kepada Bau-Bau, khususnya etnis Cia-cia. 
Dari sini, mulai timbul kerjasama antara Cia-cia dan Korea. Dari pertukaran pelajar, pertukaran guru, hingga pertukaran kebudayaan. Hal ini membuat Indonesia, khususnya Cia-cia, makin terdengar namanya oleh masyarakat di luar negeri. Sekarang ini, bahasa Korea mulai diajarkan untuk anak-anak Sekolah Dasar sejak kelas 4 SD. Bahkan di SD Karya Baru, guru bahasa Korea mereka adalah orang Korea asli. Namun untuk tahun ini, guru tersebut diganti oleh guru dari Cia-cia yang sempat mendapat pelatihan di Korea langsung. 
Suku Cia-Cia
Suku minoritas dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa, tinggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Sebagai pekerjaan pokok mereka, bertanam jagung, padi dan singkong, sementara beberapa laki-laki menangkap ikan dan membuat kapal. 95% penduduknya menganut agama Islam, tapi agama daerah sendiri juga masih banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Sekitar 60.000 orang penduduk tinggal di kota Bau-Bau, yang merupakan kota terbesar dan pusat administrasi di pulau Buton. Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat.
Hangeul (Alphabet Korea)
Suku minoritas memilih Hangeul sebagai sistem alphabet mereka,karena Hangeul dapat dituliskan bahasa asli mereka secara lebih tepat daripada huruf bahasa Indonesia, (alphabet Inggris/ Latin yang kita biasa digunakan).
Setelah bahasa Cia-cia terancam punah, lalu Lembaga riset Hunminjeongum di Korea mengusulkan penerapan Hangeul. Kedua pihak menandatangani Nota Kesepahamanan pada tgl. 21 Juli, 2009. Dalam proses itu, lembaga riset sudah menerbitkan buku pelajaran untuk suku itu untuk belajar bahasa Korea, melanjutkan studi untuk guru berbahasa Korea, membangun pusat Hangeul dll. Satu tahun kemudian sejak penerapan Hangeul itu, pemerintah pusat Indonesia mengesahkannya secara resmi.


Pemerintah Indonesia mengesahkan secara resmi penerapan Hangeul (Alphabet Korea) oleh suku minoritas Cia-Cia, di kota Bau-Bau.
Wali kota Bau-Bau, Drs. MZ Amirul Tamim, M.Si menyatakan dalam jumpa pers dengan kantor berita Yonhap News Seoul, bahwa pihak pemerintah baru-baru ini mengadakan rapat departemen terkait, dan akhirnya mengesahkan, suku Cia-Cia dapat memakai abjad bahasa Korea, Hangeul sebagai sistem alphabet mereka sendiri.


04 November, 2011

Hikmah Idul Adha

Idul Adha atau yang lebih dikenal dengan istilah Hari Raya Qurban merupakan salah satu hari raya yang begitu akbar dirayakan oleh seluruh umat Islam baik di bumi Nusantara maupun di belahan dunia lainnya. Dikumandangkannya Takbir, Tahlil dan Tahmid sejak 10 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah yang merupakan hari Tasyriq, menandakan, Idul Adha memiliki nuansa dan getaran Tauhidiyah yang sendiri.

Perayaan Idul Adha yang ditandai dengan penyembelihan hewan qurban pada hakikatnya membawa pikiran, hati dan keimanan kita larut kepada satu peristiwa besar yang terjadi puluhan abad yang silam. Kisah yang begitu mengharukan dari seorang hamba Allah yang taat yaitu Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail yang begitu sabar dan patuh pada perintah Sang Khalik, Allah SWT, yang untaian kisahnya begitu indah dilukiskan dalam Al Quran surah Ash-Shafat ayat 102-105 yang artinya 'Maka ketika anak itu sampai pada umur dewasa yakni sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku yang kusayang, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah, bagaimana pendapatmu. 'Dia (Isma'il) menjawab,'Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatkanku termasuk orang yang bersabar. 'Maka setelah keduanya bertekad bulat dalam berserah diri (kepada Allah) dan dibaringkan pipi (Isma'il) di atas tanah. Kemudian kami berseru kepadanya, 'Hai Ibrahim, engkau telah benar-benar melaksakan perintahKu dalam mimpi itu. Demikianlah sesungguhnya Kami membalas orang-orang yang berlaku baik. '

Di hari Idul Adha dan pada tiga hari berikutnya disunnahkan bagi muslim yang mampu untuk berkurban dengan menyembelih hewan ternak berupa kambing/domba atau sapi atau unta. Kemudian daging hasil sembelihan tersebut dibagikan kepada orang lain yang tentunya lebih diutamakan untuk masyarakat sekitar dan kalangan yang kurang mampu. Ini adalah bukti bahwa agama Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebersamaan, kepedulian terhadap sama dan solidaritas sosial. Islam mengajarkan pengikutnya untuk berzakat yang termasuk salah satu rukun Islam, Islam juga mempunyai konsep shadaqoh, wakaf dan juga kurban dimana semua amal ini mempunyai konteks muamalah secara horisontal atau muamalah kepada sesama manusia.

Ditengah kondisi masyarakat kita sekarang ini yang sangat terpengaruh oleh budaya liberal yang menimbulkan hasrat konsumerisme dan hedonisme jika kita mau untuk membuka mata kita, maka kita akan melihat ketimpangan yang ada di masyarakat, kita akan melihat betapa lebar kesenjangan antara kalangan yang mampu dengan yang tidak mampu, dan mungkin sebagian dari kita ada yang melihat dan tahu adanya ketimpangan dan kesenjangan sosial namun bersikap acuh tak peduli terhadap keadaan yang terlihat di depan matanya atau mungkin malah merasa bahwa ini adalah sebuah proses alam perwujudan dari teori evolusi dimana yang kuatlah yang akan berada di puncak tangga rantai evolusi. Kita lupa bahwa hidup dan mati, sehat dan sakit, susah dan senang, harta kekayaan dan kekuasaan semua adalah milik Allah semata.

Kita seringkali beranggapan bahwa apa yang kita raih adalah hasil jerih payah sendiri dan melupakan Dia yang Maha Memiliki lah pemilik hakiki dari apa yang kita miliki sekarang ini. Di bulan ini dengan disunnahkan berkurban bagi kita yang mampu, mari kita manfaatkan keagungan hari raya ini dengan mengingat keimanan, keikhlasan, kesabaran dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail untuk berbagi kepada sesama kita.

Seberapa jauh kita sudah menyelami dalamnya hikmah Idul Adha ini? Bagi yang mempunyai rezeki lebih dan melaksanakan kurban, apakah sudah dipahami makna dibalik menyembelih hewan kurban, atau apakah kurban itu hanya sebatas menyembelih kambing atau sapi lalu dibagikan dan sebagian disate kemudian setelah itu selesai . Bagi yang sudah mampu - secara financial, fisik, mental & moral - untuk melaksanakan ibadah haji apakah sudah disadari bahwa ibadah haji adalah level tertinggi, puncak dari segala ibadah yang karena beratnya ibadah yang satu ini Allah pun mewajibkan ibadah haji hanya bagi yang sudah “mampu” yang seharusnya juga berarti bahwa keimanan, ketaqwaan , keikhlasan, kesabaran dan kepedulian terhadap sesama pun dapat mencapai level tertinggi, atau apakah ibadah haji hanya dianggap sebagi sebuah ritual biasa pergi ke mekkah, belanja oleh-oleh, pulang dengan selamat lalu syukuran besar-besaran sembari membagikan buah tangan dari negeri Arab, seolah menunjukkan inilah hasil saya beribadah haji dan setelah itu tamat, ibadah haji dianggap hanya masa lalu yang penting sekarang sudah bergelar haji, tanpa memikirkan implementasi nyata yang harus dilakukan ditengah masyarakat. Naudzubillah..... semoga kita semua tidak termasuk di dalamnya.

Ternyata banyak diantara kita yang masih mempunyai kekurangan, masih sangat dangkal diri kita dalam memahami makna dari sebuah ibadah yang bagi sebagian besar kita hanyalah menjadi sebatas ritual dan rutinitas belaka, apalagi kalau harus dibandingkan dengan para nabi dan rasul sungguh rasanya terlalu jauh untuk dijangkau oleh kita yang senantiasa bergelimang dosa.

Semoga saja tulisan ini dapat menambah pemahaman kita dan memberi nilai baru dalam memaknai dan mengambil hikmah dibalik sebuah ritual ibadah. Kalaupun terdapat kesalahan, semuanya itu datangnya dari saya. Karena kebenaran yang haqiqi hanyalah  milik Allah SWT.